Pertemuanku dengan Ateis
Beberapa waktu yang lalu
aku baru saja menyelesaikan sebuah tugas akhir dari kampusku. Salah satu yang
aku wawancara adalah seseorang yang mengaku sebagai Ateis. Yak,kalian tahu
ateis adalah sebuah posisi dimana seseorang tidak mengakui adanya Tuhan.
Pertemuanku dengan beliau begitu hangat,di salah satu sudut perguruan tinggi
negeri di kotaku,Beliau menceritakan tentang kisahnya dan tentang Ateis itu
sendiri. Dari pertemuanku dengannya,aku menyimpulkan beberapa poin yang akan
aku jabarkan,mulai dari yang pertama adalah poin miskonsepsi di masyarakat
Indonesia,yaitu:
1.
Ateis disamakan
dengan sebuah kultus kepercayaan yang mana ada sebuah aturan-aturan dan
ritual-ritual yang harus ditaati sama seperti kebanyakan kepercayaan agama
lainnya,maka dari itu Ateis biasanya disebut Ateisme yang menyamakan dengan ‘isme-isme’yang
lain
2.
Karena
orang-orang Ateis adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan dan tidak
memiliki agama,maka mereka adalah orang-orang yang tidak bermoral,dan orang-orang
anti sosial.
3.
Orang-orang Ateis
lahir dari orang tua broken home dan
tidak diajarkan ilmu agama sedari kecil.
4.
Orang-orang Ateis
adalah orang-orang yang membenci orang yang beragama,intoleran dan pernah
mengukir luka di republik ini dengan tragedi 1965 yang berarti bahwa Ateis juga
bagian dari Komunisme yang sangat antagonis terhadap kaum-kaum agamis.
Namun dari beberapa kali
pertemuan dan proses sharing sana
sini terhadap fenomena ateis,aku menemukan secercah kebenaran antara lain :
1.
Ateis bukanlah
sebuah kultus kepercayaan yang mengharuskan umatnya mematuhi sebuah peraturan.
Ateis hanyalah sebuah posisi dimana kamu tidak percaya eksistensi Tuhan,jika
kamu percaya terhadap Tuhan,maka kamu disebut Teis. Ateis hanya sesedarhana
itu,bukan sebuah ajaran yang perlu ditakuti penyebarannya.
2.
Orang-orang Ateis
sering menyembunyikan identitas ke-ateis-annya karena mereka hidup di
tengah-tengah masyarakat religius yang akan memberikan diskriminasi jika mereka
benar-benar terbuka tentang identitas dirnya,oleh karena itu orang-orang Ateis
berusaha menempatkan diri mereka dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah
masyarakat dan mematuhi norma-norma baik di keluarga dan di tengah masyarakat
agar mereka tidak dianggap ‘berbeda’, bahkan salah seorang yang saya wawancara
masih sering memimpin ibadah di lingkungan tempat tinggalnya.
3.
Orang-orang Ateis
pernah mendapat ilmu agama sedari kecil,bahkan subjek saya ini adalah anak dari
seorang Santri dan pernah menjadi salah satu murid pondok pesantren ketika usia
11-13 tahun.
4.
Jika kita sudah
melihat definisi Ateis,maka kita perlu juga melihat definisi Komunisme jika
ingin menyamakannya. Komunisme adalah
ideologi yang berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi yang tujuan utamanya terciptanya masyarakat
komunis dengan aturan sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan
bersama alat produksi dan tidak adanya kelas sosial, uang, dan negara
(https://id.wikipedia.org/wiki/Komunisme)
. Nah dari definisi diatas sudah jelas ada jurang pemisah antara Ateis dan
Komunisme,yang satu membahas tentang posisi terhadap Tuhan,yang satu membahas
tentang filosofi ekonomi,politik negara. Menjadi seorang Komunis tidak perlu
harus Ateis,asal memiliki visi dan misi yang sama dengan definisi di atas baik
yang percaya dengan Tuhan ataupun yang tidak percaya kepada Tuhan,begitu pula
menjadi menjadi Ateis tidak perlu menjadi Komunis,karena orang-orang Ateis bisa
menjadi Kapitalis-lawan dari komunis- sekalipun.
Dari beberapa poin diatas,mungkin timbul
pertanyaan dari pembaca sekalian. Lantas jika Ateis tidak percaya dengan tuhan,mendapat
pengetahuan agama dari kecil dan bukan dari keluarga broken home,lantas
bagaimana Ateis menjalani hari-hari dan bagaimana pandangannya tentang dunia
ini ?
Untuk menjawabnya,saya kembali akan
menyimpulkannya dari beberapa jawaban subyek-subyek yang perna saya temui :
1.
Ateis tidak percaya Tuhan sebagaimana agama-agama di
dunia me-representaikannya. Sehingga jika ditanya siapakah pencipta Alam
semesta maka beberapa Ateis akan menjawab menggunakan pendekatan ilmu
pengetahuan.
2. Ateis memiliki
tujuan hidupnya sendiri,satu dan yang lain pastinya berbeda. Dari subyek yang
aku temui,beliau mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah menikmati hidup
seperti air yang mengalir,ada pula yang tujuan hidupnya adalah ingin kaya dan
membahagiakan orang-orang di sekitarnya dan lain-lain
3. Jika ditanya mengapa
anda perlu membantu orang lain,beliau menjawab bahwasanya berbuat baik tidak
perlu menunggu perintah agama ataupun Tuhan,beliau menjawab bahwa berbuat baik
dan membantu sesama karena kita sebagai sesama manusia memiliki empati dan
altruisme yang mendorong kita untuk menolong sesama spesies.
4. Jika ditanya perihal
kematian,beliau menjawab bahwa kematian adalah berhentinya organ-organ tubuh
manusia seperti jantung,hati,otak dll sehingga hilanglah kesadaran kita,dan
itulah kematian. Hal-hal diluar itu seperti roh,dan jiwa yang belum terbukti
secara ke-ilmuan,maka beliau tidak percaya. Jadi jika ditanya akan kemana Ateis
ketika kematian melanda,beliau menjawab tidak tahu karena belum mengalaminya.
5. Ateis bukanlah anti
teis yang mana membenci kaum agamis sebagaimana kaum agamis mendiskriminasi
kaum ateis. Malah beliau terkadang iri kepada kaum religius karena begitu mudah
menghilangkan kegundahan,dilema,dan kebimbangan hati hanya dengan
berdoa,sementara kaum ateis tidak bisa melakukannya.
6. Ateis tidak memiliki
sebuah organisasi yang memiliki tujuan- politik -menyebarkan ideologi. Ateis
hanya memiliki kelompok-kelompok kecil untuk sharing pendapat dan sekedar minum
kopi bersama sebagai sama-sama minoritas.
7. Perihal alasan
menjadi ateis,beliau mengatakan masing-masing individu memiliki alasan sendiri.
Beberapa orang mengatakan bahwa mereka telah mencari dan mempelajari banyak
Agama namun tetap bertolak belakang dengan logika dan keilmuan ilmiah,ada pula
yang beralasan bahwa terlalu banyak dicekoki oleh ajaran agama di keluarganya
sehingga muncul ketidak puasan dan pencarian jati diri di luar lingkungan
keluarganya.
Begitulah beberapa miskonsepsi dan kesimpulan
yang bisa aku paparkan dengan tujuan untuk menghilangkan prasangka sosial
terhadap minoritas yang satu ini. Dulu aku-pun berpikir sama,berpikir dengan
prasangka-prasangka,asumsi-asumsi buruk kepada mereka,namun setelah pertemuanku
dan dengan menyelami alam pikir mereka,maka munculah suatu perubahan pola pikir
yang membuatku lebih open minded kepada mereka,bahwasanya perbedaan itu bisa
memunculkan sebuah dialektika,dan dari dialektika tersebut munculah sebuah
perdamaian.
“ Jangan melihat siapa yang berbicara dan
siapa yang melakukan, tapi lihatlah apa yang dibicarakan dan apa yang dilakukan”
– GK.
Komentar
Posting Komentar